Tribute to : GOALKEEPERS – Markus Haris Maulana (1), Ferry Rotinsulu (12), Kurnia Meiga Hermansyah (23), DEFENDERS – Mohammad Nasuha (2), Zulkifly Syukur (3), Maman Abdurrahman (5), Benny Wahyudi (7), Muhammad Ridwan (22), Muhammad Roby (26), Hamka Hamzah (23), Yesaya Desnam (29), Tony Sucipto (6), MIDFIELDERS – Eka Ramdani (8), Oktovianus Maniani (10), Arif Suyono (14), Firman Utina (Kapten) (15),Ahmad Bustomi (19), FORWARDS – Irfan Bachdim (17), Dendi Santoso (13), Christian González (9), Bambang Pamungkas (20), Yongki Aribowo (21), Johan Juansyah (11).
“It is not the critic who counts: not the man who points out how the strong man stumbles or where the doer of deeds could have done better. The credit belongs to the man who is actually in the arena, whose face is marred by dust and sweat and blood, who strives valiantly, who errs and comes up short again and again, because there is no effort without error or shortcoming, but who knows the great enthusiasms, the great devotions, who spends himself for a worthy cause; who, at the best, knows, in the end, the triumph of high achievement, and who, at the worst, if he fails, at least he fails while daring greatly, so that his place shall never be with those cold and timid souls who knew neither victory nor defeat.” Speech at the Sorbonne, Paris, April 23, 1910. Theodore Roosevelt.
Turnamen AFF Suzuki ini memang hanya tingkat regional Asia Tenggara, bahkan tidak masuk kalender FIFA. AFF – Asean Football Federation, juga tidak berafiliasi langsung dengan FIFA. AFF hanya menginduk ke AFC – Asian Football Committee. Bahwasanya tak satupun pelaga Piala Asia 2011 di Qatar merupakan anggota AFF, menunjukkan bahwa di tingkat Asia sekalipun, tim-tim sepakbola Asia Tenggara masih belum bisa berbuat banyak.
Hasil akhirnya, Timnas Garuda menjadi runners-up, setelah di final Leg 2 hanya bisa mengalahkan Malaysia dengan skor 2-1, dan aggregat pun kalah 2-4, karena di leg 1 kalah dari Malaysia 0-3. Terlepas dari itu, keikutsertaan Timnas Indonesia dalam ajang AFF kali ini memberikan kita banyak hikmah untuk kemajuan sepakbola Indonesia. Hikmah terbesar adalah bahwa Nasionalisme kita sebagai bangsa masih eksis.
Sebelum turnamen dimulai, kehebohan dimulai dengan terbitnya paspor Indonesia bagi Christian ‘el loco’ Gonzales. Sebelumnya warga negara Uruguay, El loco telah memenuhi syarat untuk menjadi Warga Negara Indonesia. Ini adalah naturalisasi pertama dalam sejarah sepakbola Indonesia. Tak ada yang meragukan ketajaman El loco, yang pernah 3 tahun berturut-turut menjadi striker tersubur di pentas sepakbola tertinggi tanah air. Sebagian yang skeptis mempertanyakan usia El loco yang telah mencapai 34 tahun, usia senja bagi seorang pesepakbola. Suara sinis ini hilang dengan sendirinya ketika El loco menjadi pahlawan dengan mencetak masing-masing 1 gol dalam dua leg semifinal ke gawang Filipina dan meloloskan Timnas Garuda ke Final.
Kehebohan lain adalah dengan masuknya Irfan Bachdim dalam Timnas Garuda. Berayah mantan pemain Persema Malang, beribu orang Belanda, dan lahir di Amsterdam, Irfan Bachdim (22 tahun) tak pernah menjadi warga negara Belanda. Saat berusia 21 tahun, dia harus memilih antara menjadi warga Belanda mengikuti ibunya atau menjadi WNI seperti bapaknya. Irfan memilih menjadi WNI. Karirnya di Timnas adalah suatu kisah menarik. Setelah kembali ke Indonesia karena klub-nya di Belanda bangkrut, Irfan melamar menjadi pemain Persija dan Persib. Entah apa kriteria yang dipakai di Persija dan Persib, kedua klub besar Indonesia Super League (ISL) itu menolak Irfan mentah-mentah. Irfan dianggap tak layak berlaga di kasta tertinggi sepakbola nasional itu. Ahirnya Irfan berlabuh di bekas tim ayahnya, Persema Malang. Tak sampai 6 bulan sejak mendarat di Jakarta, dia dipanggil Coach Alfred Riedl membela Timnas Garuda. Gocekannya oke, positioning bagus, tendangan terukur, menjadi bukti 2 gol yang dipersembahkannya dalam babak penyisihan. Lebih dari itu Irfan-lah salah satu yang membuat stadion tidak lagi menjadi tempat yg menyeramkan, dengan munculnya banyak paras-paras manis suporter wanita yang menjadi fans-nya.
Di babak penyisihan, Timnas Garuda tampil meyakinkan. Menaklukkan Malaysia 5-1, membantai Laos 6-0, dan mengalahkan Thailand 2-1. Thailand secara peringkat FIFA (121) adalah tim terkuat di Asia Tenggara, jauh diatas tim lain termasuk Indonesia (135). Di pertandingan pertama masih banyak bangku stadion yang kosong, masyarakat sudah sangat terbiasa dengan kegagalan demi kegagalan, kekalahan demi kekalahan Timnas. Terakhir adalah gagalnya Indonesia lolos ke putaran final Piala Asia di Qatar. Hasil yang diluar dugaan ini membuat seluruh rakyat Indonesia tersentak. Ekspose media membahana hampir di seluruh stasiun TV kita, tak kecuali stasiun TV spesialis sinetron.
Rakyat pun berbondong-bondong ke stadion Gelora Bung Karno, untuk menyaksikan partai Semifinal. Antrian tiket mulai mengular. Tua, muda, pria, wanita, mengantri berjuang untuk mendapat tiket menonton semifinal. Lawan yang dihadapi adalah Filipina. Dalam sejarahnya, Indonesia pernah membantai filipina 13-1. Namun, kali ini Filipina datang dengan 9 pemain naturalisasi yang hampir semuanya pernah merumput di liga Eropa, meski bukan di kasta tertinggi. Kiper Filipina, Neil Etheridge, adalah kiper ke-3 di Fulham, salah satu tim di English Premier League. Semifinal yang digelar dalam 2 leg di GBK karena Filipina sedemikian tak pedulinya dengan sepakbola, sampai tak punya stadion yang layak untuk laga internasional, berakhir dengan agregat kemenangan Timnas 2-0. Tim Filipina alias tim eropa kelas tiga pun kita kalahkan. untuk ke-4 kalinya dalam sejarah AFF, Indonesia masuk final, meski tak sekalipun meraih juara.
Sampai titik itu baik-baik saja. Selanjutnya muncullah tanda-tanda bencana. Para pelacur politik mulai melakukan gerilya untuk mendapatkan simpati masyarakat. Berlagak jadi pendukung, komentar gak nyambung, sampai mngklaim telah membantu suksesnya Timnas. PSSI-pun dengan tololnya merecoki persiapan final dengan kegiatan yang gak ada hubungannya dengan sepakbola. Membawa timnas mendatangi undangan makan dirumah Aburizal Bakrie dan kunjungan ke Ponpes buktinya. Media pun tak kalah konyol, demi mendapatkan berita, persiapan tim dan privasi pemain diobrak-abrik. Hasilnya, Timnas Garuda ditekuk Malaysia 0 -3 di Bukit Jalil. Jalan curam menuju juara ditentukan di GBK.
Buruknya manajemen PSSI terlihat jelas dalam pengaturan penjualan tiket. Otoritas tertinggi sepakbola nasional ini amat sangat tak becus mengatur tiket. Satu orang tewas dalam perjuangannya mendapatkan tiket. Nurdin halid pun menyalahkan suporter Timnas atas kejadian ini. Bisa jadi, suporter yang tewas ini mungkin yang pertama di dunia tewas karena akan membeli tiket. Yang tewas karena pertandingan atau setelah pertandingan, sudah banyak. Yang tewas dalam membeli tiket, rasanya ya pertama kali terjadi di Indonesia ini. Mengatur tiket pun tak becus, bagaimana pula kita berharap sepakbola nasional kita bisa diatur dengan baik?
Terlepas dari carut marutnya penjualan tiket, antusiasme suporter tak surut. Di hari pertandingan, 100 ribu lebih suporter memadati GBK. Kedatangan timnas dielu-elukan. Saya tak ingat lagi, kapan ada manusia Indonesia yang dielu-elukan seperti itu. 23 pemain itulah pahlawan masa kini. Yang menunjukkan bahwa semangat nasionalisme kita masih eksis. Nasionalisme sejati, tak ada kaitannya dengan pangkat, latar belakang, suku, apalagi rupiah. Lagu Garuda di dadaku pun menggema di mana-mana.
Hasil akhir bukanlah happy ending seperti film hollywood. Yang menakjubkan, meski tertinggal 0-1, dukungan suporter tak berkurang. IN DO NE SIA, terus membahana, membakar semangat 11 putra terbaik bangsa di mata coach Riedl, yang berlaga berpeluh keringat. Hasil akhir 2-1 untuk kemenangan Timnas Garuda, tak cukup untuk membawa pulang piala AFF untuk pertama kalinya. Tapi sangat cukup untuk menunjukkan bangsa kita punya nasionalisme yang begitu kuat, spirit of nation yang dulu bisa mengusir nenek moyang Irfan Bachdim dari sini. Dan yang lebih hebat lagi, tak seperti kebiasaan rusuh suporter kalau tim-nya kalah, pulang dari final itu suporter bernyanyi, buat apa rusuh…buat apa rusuh…rusuh itu tak ada gunanya.
Terima kasih Timnas Garuda, yang telah mengajari kami bahwa harapan itu selalu ada. Bahwa kita menggapai impian manakala kita terus berusaha dan berdoa. Bahwa nasionalisme sejati kita masih eksis. Dan bahwasanya diatas segalanya, Keputusan ada di tangan-Nya yang Maha Kuasa. Masih akan ada pertandingan di depan untuk dimenangkan, masih banyak latihan berat yang harus kalian jalani. Ingatlah bahwa 237.556.340 jiwa berdiri dibelakang kalian, mendoakan kalian mengepakkan sayap ke awan tertinggi. Kalian tak juara di turnamen ini, tapi kalianlah juara di hati kami. Garuda kan selamanya ada di dada kami, meski diprotes si Tobing itu.
Berakhir sudah kisah perjalanan sang Garuda di piala AFF Suzuki 2010 ini, teriring doa Nurdin Halid diganti oleh orang yang lebih waras, lebih pintar, dan mampu mengantarkan Timnas Garuda berlaga di Piala Dunia. Aamin ya Robbal ‘alamiin. Kali ini, mohon ampun ya Alloh, aku agak memaksa.