Senin pagi ini heboh sekali. Setelah badan setengah remuk redam karena menjadi panitia Iedul Qurban hari Minggu kemarin, praktis nggak ada waktu rehat yang cukup menghadapi hari kerja senin ini. Penyembelihan dan pemrosesan 7 sapi dan 7 kambing, dengan sekitar 700 kantung daging yang disediakan untuk siapapun yang meminta; merupakan rekor baru di mesjid kami. Alhamdulillah, setiap tahun semakin tinggi saja semangat berkurban warga di sekitar mesjid kami. Menjadi koordinator pencacahan dan pembungkusan daging merupakan tanggung jawab yang tidak ringan. Terlebih harus turun tangan sendiri juga untuk merecah daging dan memotong iga dengan mesin potong.
Bangun pagi ini diawali dengan pijatan istri tersayang yang sepertinya paham betul kondisi suaminya, yang merelakan ritual sabtu pagi bermain bola demi persiapan Iedul Qurban. Di usiaku yang menjelang 40 tahun, tidak berolahraga berimplikasi langsung pada kebugaran. Ada sesuatu yang kurang, dan itu pastinya pengaruh dari tidak terpacunya adrenalin di sabtu pagi kemarin karena absen dari lapang bola UPI di Setiabudi Bandung.
Sadar bahwa mobil belum dicuci, serta merta kulangkahkan kaki menuju garasi, ritual senin pagi untuk sekedar melap mobil agar pantas dipakai dan tidak terlalu kotor. Tiba-tiba si sulung berteriak, ” Pa cepetan ada upacara, ini motor juga nggak mau nyala, tolongin !”. Sejenak kuhentikan prosesi mandi kucing mobilku, dan kulihat apa yg terjadi dengan motornya. Dengan sekali kick starter, motor pun menyala. Emang udah dua hari nggak dipake motor itu, pantes aja electric starter nggak mempan.
Si jagoan sudah siap ketika prosesi mandi kucing mobil belum sepenuhnya selesai. Waktu ternyata berlalu begitu cepat. Kupaksakan selesai saja bersih-bersih mobil ini, dan siap mengantar si jagoan ke ujung jalan untuk dia lanjutkan sendiri dengan angkot ke sekolahnya. Kembali ke rumah, si sulung udah komplen lagi, “Pa ayo dong cepetan !”. Ternyata udah jam 06.05. Wah gawat. Alamat gak sempat sarapan ini. Pemecahan rekor mandi pun terjadi, jam 06.10 ku sudah bersiap berangkat. Setelah cium kening si bungsu keriting dan istri tersayang, ku berangkat menjemput si sulung di tempat parkir motornya untuk selanjutnya ke sekolah. Thank God, masih on time, meski sebagian besar temannya sudah berbaris. Setidaknya dia tidak dihukum jalan jongkok karena terlambat.
Sampai kantor, lapar mulai terasa. Secangkir kopi hitam sudah diantar si Acuy. Tapi karena masih sayang perut, kuacuhkan saja. Teringat bahwa hari ini deadline kontribusi premi asuransiku. Sekalian aja bayar premi asuransi di ATM depan kantor, sekalian cari sarapan di sebelah gedung kantor. Pengalaman pertamaku sarapan di sebelah kantor ternyata, setelah 6 tahun bertugas di kantor ini. Sesaat sebelum masuk ruang ATM, ada seseorang yang berkata, ” Semir Pak ?”. Kuabaikan saja sambil menggeleng dan tersenyum tanpa memandang muka si penjual jasa.
Beres urusan di ATM, kulanjutkan langkah kaki ke sebelah kantor cari sarapan. Kulewatkan saja pengemis di depan ATM. Ku punya pertimbangan sendiri untuk tidak memberi pada pengemis. Kusapukan mata melihat apa aja pilihan yang tersedia. Ada bubur ayam, tapi penuh sesak kursinya. Second choice, kupat tahu, masih tersedia seat available. Ku-order saja dan duduk manis menunggu. Tak lama datang sepiring kupat tahu pesananku. Porsi dewasa betul. Tapi ada yang kurang, gak ada sambelnya. Dan gak ada juga sambel di meja. “Kang ada sambel?”, kutanyakan saja saat teh panas diantarkan. “Ada”, jawabnya singkat, dan diambilnya wadah sambel dari gerobaknya. Ternyata sambelnya shared resource, mungkin efisiensi wadah, tapi risikonya wadah itu bolak-balik dari meja ke gerobak. Kalau saja terjatuh, habis sudah sambel hari itu.
Sambil makan kuperhatikan ada seseorang yang membawa tas ransel dan menenteng sandal di seberang jalan. Sebagian rambutnya beruban. Perawakannya mengingatkanku pada temanku yang berasal dari kawasan timur Indonesia. Ranselnya disangkutkan di pagar kantor. Aku mulai mengira apa yang akan dilakukannya. Selanjutnya dia mulai berjalan ke arah tenda kupat tahu. “Semir pak? Murah empat ribu dan awet”. Oh, ternyata dia toh tukang semirnya. Sekali lagi ku menggeleng. Kuingat hari ini sepatuku memang belum disemir. Ada Kiwi instan di mobil, tapi rusuhnya hari ini membuatku lupa menyemir. Besok saja kusemir sendiri, pikirku. Dia bergerak ke warung sebelah, tak satupun pembeli yang merasa perlu menyemir sepatunya.
Dia kembali ke seberang jalan, tak terlihat wajah putus asa di wajahnya. Setiap orang lewat ditawarinya jasa semir sepatu. Kukagumi kegigihannya. Kukagumi keyakinannya untuk mencari rezeki dengan cara halal. Banyak pengamen kalau siang di sekitar tempat ini, tapi tidak juga dilakukannya. Pengamen lebih sering menjadi pengganggu daripada penghibur. Empat ribu rupiah mungkin tak ada artinya buat karyawan yang berkantor di seberang jalan ini. Tapi menyediakan jasa semir di saat Kiwi instan sudah tersedia? Anganku melayang jauh. Kucoba menebak apakah dia punya istri dan anak? Makan apa dia dan keluarganya hari ini? Apakah anaknya, kalau ada, bisa sekolah?
Selesai makan kupat tahu kubayar harganya. Tujuh ribu rupiah. Lebih mahal dua ribu lima ratus rupiah dari langgananku di rumah. Who cares? kubayar saja. Melangkah keluar, masih berpapasan dengan tukang semir yang sudah kembali ke sekitar. Kali ini Dia tak menawariku lagi.
Justru aku yang bertanya. “Semir ya bang?”.
“Iya Oom”, jawabnya. Melihat raut wajahnya, dia mungkin sedikit lebih tua dariku. Kuabaikan saja panggilan yang menyebalkan itu.
“Berapa?” kutanya lagi berlagak nggak tau.
“Empat ribu Oom”, jawabnya.
“Dimana ya?” tanyaku lagi.
“Di situ aja Oom”, jempolnya menunjuk ke seberang jalan dimana tas ranselnya tergantung dan tersedia bangku besi panjang. Cara sopan adat ketimuran untuk menunjuk. Bule pasti nggak bisa. Ah males aja nangkring di pinggir jalan di pagi hari. Capek senyum karena sejawatku pasti banyak yang lewat.
“Saya tunggu di sini aja ya”, sambil melangkah kembali ke dalam tenda kupat tahu yang kosong sekarang.
Dengan sigap dia mendekat, dan menyiapkan sandalnya untuk kupakai. Samar terdengar “Bismillah” dari lisannya ketika menyodorkan sandalnya. Awal yang baik, kupikir. Dia mengambil sepatuku dan berjalan ke seberang ke workshop sepatu dadakannya. Selanjutnya dia membongkar tasnya, mengambil beberapa peralatan semirnya. Kulirik jam di HP-ku, karena hari ini ku lupa pakai jam tangan, saking buru-burunya. Jam 7.40. Masih 20 mnit sebelum jam kerja resmi dimulai. Toh aku sudah absen online, pikirku.
Kuperhatikan dari jauh, cara menyemir yang agak aneh. Jauh dari yang kubayangkan. Mula-mula sepatuku dilapnya. Kemudian dikeluarkannya semacam spidol besar, dicelupkan ke tutup botol yang sudah diisi cairan dengan hati-hati, dan mulai menotolkan spidol besar tadi ke beberapa titik sepatu. Selanjutnya dia menyikat sepatuku dengan sikat gigi. Berulangkali dan bergantian antara sepatu kiri dan kanan. Benar-benar cara yang aneh untuk menyemir sepatu. Terserah deh, kupikir.
Untuk membunuh waktu kubuka HP cina Androidku, dan kuaktifkan Angry Birds. Pembunuh waktuku yang paling efektif. Sambil bermain ku coba berpikir apa yang mendasari angka empat ribu untuk jasa semir itu? Berapa sepatu yang bisa dia semir sehari? Hal-hal yang sebelumnya tak pernah kupikir. Kalau semirnya memuaskan, selembar uang berwarna hijau akan kuberikan. Kalau tidak, empat ribu lah harga jasa semir itu, sesuai dengan kesepakatan. Dia sendiri yang menentukan.
Akhirnya selesai juga semir itu. Hasilnya tak membuatku puas. Malah tak terlihat seperti habis disemir. Kuserahkan empat ribu yang menjadi haknya. Tetap saja, kukagumi semangatnya untuk bekerja dengan cara yang halal. Semangat Pagi !