Semangat pagi !

7 11 2011

Senin pagi ini heboh sekali. Setelah badan setengah remuk redam karena menjadi panitia Iedul Qurban hari Minggu kemarin, praktis nggak ada waktu rehat yang cukup menghadapi hari kerja senin ini. Penyembelihan dan pemrosesan 7 sapi dan 7 kambing, dengan sekitar 700 kantung daging yang disediakan untuk siapapun yang meminta; merupakan rekor baru di mesjid kami. Alhamdulillah, setiap tahun semakin tinggi saja semangat berkurban warga di sekitar mesjid kami. Menjadi koordinator pencacahan dan pembungkusan daging merupakan tanggung jawab yang tidak ringan. Terlebih harus turun tangan sendiri juga untuk merecah daging dan memotong iga dengan mesin potong.

Bangun pagi ini diawali dengan pijatan istri tersayang yang sepertinya paham betul kondisi suaminya, yang merelakan ritual sabtu pagi bermain bola demi persiapan Iedul Qurban. Di usiaku yang menjelang 40 tahun, tidak berolahraga berimplikasi langsung pada kebugaran. Ada sesuatu yang kurang, dan itu pastinya pengaruh dari tidak terpacunya adrenalin di sabtu pagi kemarin karena absen dari lapang bola UPI di Setiabudi Bandung.

Sadar bahwa mobil belum dicuci, serta merta kulangkahkan kaki menuju garasi, ritual senin pagi untuk sekedar melap mobil agar pantas dipakai dan tidak terlalu kotor. Tiba-tiba si sulung berteriak, ” Pa cepetan ada upacara, ini motor juga nggak mau nyala, tolongin !”. Sejenak kuhentikan prosesi mandi kucing mobilku, dan kulihat apa yg terjadi dengan motornya. Dengan sekali kick starter, motor pun menyala. Emang udah dua hari nggak dipake motor itu, pantes aja electric starter nggak mempan.

Si jagoan sudah siap ketika prosesi mandi kucing mobil belum sepenuhnya selesai. Waktu ternyata berlalu begitu cepat. Kupaksakan selesai saja bersih-bersih mobil ini, dan siap mengantar si jagoan ke ujung jalan untuk dia lanjutkan sendiri dengan angkot ke sekolahnya. Kembali ke rumah, si sulung udah komplen lagi, “Pa ayo dong cepetan !”. Ternyata udah jam 06.05. Wah gawat. Alamat gak sempat sarapan ini. Pemecahan rekor mandi pun terjadi, jam 06.10 ku sudah bersiap berangkat. Setelah cium kening si bungsu keriting dan istri tersayang, ku berangkat menjemput si sulung di tempat parkir motornya untuk selanjutnya ke sekolah. Thank God, masih on time, meski sebagian besar temannya sudah berbaris. Setidaknya dia tidak dihukum jalan jongkok karena terlambat.

Sampai kantor, lapar mulai terasa. Secangkir kopi hitam sudah diantar si Acuy. Tapi karena masih sayang perut, kuacuhkan saja. Teringat bahwa hari ini deadline kontribusi premi asuransiku. Sekalian aja bayar premi asuransi di ATM depan kantor, sekalian cari sarapan di sebelah gedung kantor. Pengalaman pertamaku sarapan di sebelah kantor ternyata, setelah 6 tahun bertugas di kantor ini. Sesaat sebelum masuk ruang ATM, ada seseorang yang berkata, ” Semir Pak ?”. Kuabaikan saja sambil menggeleng dan tersenyum tanpa memandang muka si penjual jasa.

Beres urusan di ATM, kulanjutkan langkah kaki ke sebelah kantor cari sarapan. Kulewatkan saja pengemis di depan ATM. Ku punya pertimbangan sendiri untuk tidak memberi pada pengemis. Kusapukan mata melihat apa aja pilihan yang tersedia. Ada bubur ayam, tapi penuh sesak kursinya. Second choice, kupat tahu, masih tersedia seat available. Ku-order saja dan duduk manis menunggu. Tak lama datang sepiring kupat tahu pesananku. Porsi dewasa betul. Tapi ada yang kurang, gak ada sambelnya. Dan gak ada juga sambel di meja.  “Kang ada sambel?”, kutanyakan saja saat teh panas diantarkan.  “Ada”, jawabnya singkat, dan diambilnya wadah sambel dari gerobaknya. Ternyata sambelnya shared resource, mungkin efisiensi wadah, tapi risikonya wadah itu bolak-balik dari meja ke gerobak. Kalau saja terjatuh, habis sudah sambel hari itu.

Sambil makan kuperhatikan ada seseorang yang membawa tas ransel dan menenteng sandal di seberang jalan. Sebagian rambutnya beruban. Perawakannya mengingatkanku pada temanku yang berasal dari kawasan timur Indonesia. Ranselnya disangkutkan di pagar kantor. Aku mulai mengira apa yang akan dilakukannya. Selanjutnya dia mulai berjalan ke arah tenda kupat tahu. “Semir pak? Murah empat ribu dan awet”. Oh, ternyata dia toh tukang semirnya. Sekali lagi ku menggeleng. Kuingat hari ini sepatuku memang belum disemir. Ada Kiwi instan di mobil, tapi rusuhnya hari ini membuatku lupa menyemir. Besok saja kusemir sendiri, pikirku. Dia bergerak ke warung sebelah, tak satupun pembeli yang merasa perlu menyemir sepatunya.

Dia kembali ke seberang jalan, tak terlihat wajah putus asa di wajahnya. Setiap orang lewat ditawarinya jasa semir sepatu. Kukagumi kegigihannya. Kukagumi keyakinannya untuk mencari rezeki dengan cara halal. Banyak pengamen kalau siang di sekitar tempat ini, tapi tidak juga dilakukannya. Pengamen lebih sering menjadi pengganggu daripada penghibur. Empat ribu rupiah mungkin tak ada artinya buat karyawan yang berkantor di seberang jalan ini. Tapi menyediakan jasa semir di saat Kiwi instan sudah tersedia? Anganku melayang jauh. Kucoba menebak apakah dia punya istri dan anak? Makan apa dia dan keluarganya hari ini? Apakah anaknya, kalau ada, bisa sekolah?

Selesai makan kupat tahu kubayar harganya. Tujuh ribu rupiah. Lebih mahal dua ribu lima ratus rupiah dari langgananku di rumah. Who cares? kubayar saja. Melangkah keluar, masih berpapasan dengan tukang semir yang sudah kembali ke sekitar. Kali ini Dia tak menawariku lagi.

Justru aku yang bertanya. “Semir ya bang?”.

“Iya Oom”, jawabnya. Melihat raut wajahnya, dia mungkin sedikit lebih tua dariku. Kuabaikan saja panggilan yang menyebalkan itu.

“Berapa?” kutanya lagi berlagak nggak tau.

“Empat ribu Oom”, jawabnya.

“Dimana ya?” tanyaku lagi.

“Di situ aja Oom”, jempolnya menunjuk ke seberang jalan dimana tas ranselnya tergantung dan tersedia bangku besi panjang. Cara sopan adat ketimuran untuk menunjuk. Bule pasti nggak bisa. Ah males aja nangkring di pinggir jalan di pagi hari. Capek senyum karena sejawatku pasti banyak yang lewat.

“Saya tunggu di sini aja ya”, sambil melangkah kembali ke dalam tenda kupat tahu yang kosong sekarang.

Dengan sigap dia mendekat, dan menyiapkan sandalnya untuk kupakai. Samar terdengar “Bismillah” dari lisannya ketika menyodorkan sandalnya. Awal yang baik, kupikir. Dia mengambil sepatuku dan berjalan ke seberang ke workshop sepatu dadakannya. Selanjutnya dia membongkar tasnya, mengambil beberapa peralatan semirnya. Kulirik jam di HP-ku, karena hari ini ku lupa pakai jam tangan, saking buru-burunya. Jam 7.40. Masih 20 mnit sebelum jam kerja resmi dimulai. Toh aku sudah absen online, pikirku.

Tekun dengan keterampilannya

Kuperhatikan dari jauh, cara menyemir yang agak aneh. Jauh dari yang kubayangkan. Mula-mula sepatuku dilapnya. Kemudian dikeluarkannya semacam spidol besar, dicelupkan ke tutup botol yang sudah diisi cairan dengan hati-hati, dan mulai menotolkan spidol besar tadi ke beberapa titik sepatu. Selanjutnya dia menyikat sepatuku dengan sikat gigi. Berulangkali dan bergantian antara sepatu kiri dan kanan. Benar-benar cara yang aneh untuk menyemir sepatu. Terserah deh, kupikir.

Untuk membunuh waktu kubuka HP cina Androidku, dan kuaktifkan Angry Birds. Pembunuh waktuku yang paling efektif. Sambil bermain ku coba berpikir apa yang mendasari angka empat ribu untuk jasa semir itu? Berapa sepatu yang bisa dia semir sehari? Hal-hal yang sebelumnya tak pernah kupikir. Kalau semirnya memuaskan, selembar uang berwarna hijau akan kuberikan. Kalau tidak, empat ribu lah harga jasa semir itu, sesuai dengan kesepakatan. Dia sendiri yang menentukan.

Akhirnya selesai juga semir itu. Hasilnya tak membuatku puas. Malah tak terlihat seperti habis disemir. Kuserahkan empat ribu yang menjadi haknya. Tetap saja, kukagumi semangatnya untuk bekerja dengan cara yang halal. Semangat Pagi !





Kegaduhan 1 Syawal

30 08 2011

‘Cause we all live under the same Sun
We all walk under the same Moon
Then why, why can’t we live as one

…   (Scorpions)

Hilal - Penanda 1 Syawal (timeslahore.com)

Di penghujung ibadah shaum (puasa) Ramadhan, selalu dinantikan hari raya umat Islam sejagat, Iedul Fithri. Aspek sosial religius yang menyertainya amat luar biasa. Fenomena mudik, misalnya, terjadi di setiap menjelang hari raya Iedul Fithri ini. Pulang ke kampung halaman, ke titik nol masing-masing, menjadi obsesi bagi sebagian besar muslim yang menjalankan ibadah shaum. Bersilaturahim, bersimpuh di depan orang tua dan orang-orang yang dituakan, bersalaman dan saling bermaaf-maafan dengan seluruh handai taulan, sebagai upaya untuk menyucikan diri dari kedzaliman horizontal sesama anak Adam. Ditambah lagi dengan hidangan yang tidak biasa, yang terkadang hanya disajikan setahun sekali. Resep-resep turun-temurun didemonstrasikan dan diajarkan kepada anak-anak. Bahkan di rumah, saya dan anak-anak menyempatkan membuat kue Quaker, yang tidak bisa ditemukan di toko kue manapun. Resep rahasia yang tak tertulis, yang tertanam di resident memory kami, lebih rahasia dari crabby patty.

Perputaran uang saat momen Iedul Fithri ini juga luar biasa. Bank Indonesia mencatat penukaran uang kecil di seluruh Indonesia mencapai Rp. 77 Trilyun. Uang kecil ini lazim dibagi-bagikan kepada anak-anak saat Iedul Fithri. Tak sedikit anak-anak yang sudah menyiapkan diri dengan tas mungil untuk menyimpan uang yang diterima dari orang tua maupun kerabat, uang besar maupun uang kecil. Tak terbersit sedikitpun rasa lelah di wajah mereka setelah sebulan penuh beribadah shaum. Senyum, tawa dan canda ria terlihat dimana-mana.

Bagaimana dengan mereka yang tidak beruntung dan tergolong dalam kategori orang yang dhuafa ? Selayaknya mereka pun menikmati kegembiraan di hari raya Iedul Fithri. Dengan mekanisme wajibnya Zakat Fithrah bagi setiap jiwa muslim dan Zakat Maal bagi yang telah nisab, yang dijalankan dengan amanat, maka adalah suatu kesalahan besar bilamana ada fakir miskin dan kaum dhuafa yang tidak menikmati kegembiraan Iedul Fithri.

Semua keceriaan menyambut Iedul Fithri ini sedikit ternoda dengan kegaduhan penentuan tanggal 1 Syawal 1432 H.  Bagi umat islam, penentuan awal  suatu bulan ditentukan dengan hilal, bulan sabit yang muncul pertama kali setelah bulan menghilang (bulan mati). Permasalahannya, ada beda penafsiran tentang hilal ini. Sebagian besar ulama dan didukung oleh para ahli astronomi, mensyaratkan hilal terlihat secara fisik oleh mata, sesuai tuntunan secara literal dari Rosululloh SAW. Namun demikian, Muhammadiyah tidak mensyaratkan terlihatnya hilal secara fisik, cukup dengan perhitungan (hisab) bahwa bulan sudah diatas ufuk, maka sudah masuk bulan Syawal. Prof Thomas Djamaluddin, Profesor Riset Astronomi Astrofisika, LAPAN; Anggota Badan Hisab Rukyat, Kementerian Agama RI menjelaskan perbedaan ini secara gamblang dalam tulisannya.

Meski bukan pertama kali terjadi, perbedaan penentuan 1 Syawal ini cukup mengganggu kekhusyukan ibadah shaum Ramadhan. Bagaimana tidak, di saat sebagian umat Islam sedang menunaikan sholat tarawih, ada sebagian kecil mesjid yang mengumandangkan takbir. Takbir yang memang disunahkan dibacakan hingga menjelang Sholat Iedul Fithri ini juga masih mengumandang ketika sebagian besar umat Islam melakukan sahur. Kita memang masih harus belajar banyak soal toleransi, bukan saja antar umat beragama, tapi juga sesama muslim.

Perbedaan keyakinan ini juga mengundang konsekuensi religius yang serius. Berpuasa di hari raya Iedul Fithri adalah haram. Demikian pula, berbuka (tidak berpuasa) ketika seharusnya seseorang itu berpuasa, adalah haram, dan tak cukup berpuasa setahun untuk menggantinya. Faktanya, umat muslim Indonesia tinggal di bawah mentari yang sama, berjalan di bawah bulan yang sama. Maka berhari raya Iedul Fithri di tempat yang sama, di hari yang berbeda adalah  lelucon religius yang konyol. Salah satu dari golongan umat yang berbeda hari raya Iedul Fithri itu pasti melakukan kesalahan. Kita memang bebas untuk memilih akan mengikuti pendapat yang manapun soal 1 Syawal ini. Tapi kita tak bisa terbebas dari konsekuensi pilihan kita, ketika kita di-hisab di hadapan-Nya.





Tentang Nuzulul Qur’an

18 08 2011

Al-Qur’an adalah kitab yang paling favorit buat saya. Inilah satu-satunya buku yang tak pernah membosankan untuk saya baca. Meski tak mahir berbahasa Arab yang menjadi dasar bahasa Al-Qur’an, berbekal mondok di pesantren selama bulan Ramadhan 19 tahun yang lalu untuk belajar Al-Qu’an sangat membantu saya untuk dapat memahami arti secara umum dari setiap ayat yang saya baca, meski literally beberapa kata dalam ayat itu tidak saya hafal artinya.

Bahkan ketika seleksi penghargaan Umroh tahun ini, lancarnya saya membaca suatu ayat secara random dan menterjemahkannya sempat membuat Pak Ustadz yang menguji setiap calon penerima penghargaan umroh bertanya : “Apakah bapak pernah belajar ulumul Qur’an ?’. Dan saya pun balik bertanya : “Ulumul Qur’an itu apa Pak Ustadz?. Dan Pak Ustadz pun tersenyum menjelaskan sambil tak habis pikir bagaimana caranya saya bisa sefasih itu menjelaskan ayat yang dibaca secara random, tanpa paham apa itu ulumul Qur’an. Lucky me, ayat yang secara ‘random’ harus saya baca dan terjemahkan adalah salah satu ayat yang sangat mashur tentang pentingnya kerukunan antar umat. Alhamdulillah, saya lulus seleksi, dan bersama istri diberangkatkan oleh Perusahaan tercinta, Telkom Indonesia, untuk umroh ke tanah suci. Alhamdulillah pula, bisa mengajak ibunda tercinta bersama ke sana.

Lalu kenapa dengan Nuzulul Qur’an? Sebagian umat Islam meyakini bahwa tanggal 17 Ramadhan adalah hari turunnya ayat pertama kali kepada Nabi Muhammad SAW, berupa 5 ayat pertama surat Al-Alaq, yang memerintahkan beliau untuk membaca. Untuk itulah sebagian umat Islam merayakannya dengan hari Nuzulul Qur’an, bahkan di Indonesia menjadi agenda nasional, sehingga di tingkat nasional acaranya dihadiri oleh Presiden dan Wakil Presiden sekaligus.

So what? Nuzulul Qur’an tak pernah masuk dalam agenda saya. Dalam konteks religius, saya hanya memiliki dua hari besar, yaitu Hari Raya Iedul Fithri dan Hari Raya Iedul Adha. Selain itu, bagi saya, just another day. Termasuk juga hari lahir saya sendiri, maupun hari lahir orang-orang yang saya cintai, just simply another day. No celebration required nor planned. Kalo pas ada rejekinya, makan-makan bisa kapan aja, membelikan hadiah juga bisa kapan aja, tak perlu menunggu ulang tahun. Tapi kalo Iedul Fithri saya menyambutnya dengan suka cita, membelikan orang2 tercinta hadiah, termasuk untuk saya sendiri tentunya. Di Iedul Adha, membeli ternak terbaik yang mampu saya beli, memakannya sebagian, dan memberikannya sebagian besarnya kepada orang yang saya kenal maupun tidak.

Jadi apa yang saya lakukan ketika tiba Nuzulul Qur’an, di saat banyak orang merayakannya? Saya merenung. Sejauh mana Al-Qur’an benar-benar diterapkan dalam hidup saya. Perintah mana yang belum saya laksanakan? Larangan mana yang masih saya kerjakan? Cerita apa yang belum saya percayai? Dan sejauh mana saya menumbuhkembangkan spirit untuk membaca dan mengamalkan Al-Qur’an dalam kepemimpinan saya di rumah? Tentu saja, renungan seperti ini tidak perlu saya lakukan setahun sekali. Saya harus lebih sering melakukannya.

Bagaimana dengan Anda?

 





Follow you, follow me…

13 06 2011

based on true story.

I will follow you will you follow me

All the days and nights that we know will be

I will stay with you will you stay with me

Just one single tear in each passing year…

… (Genesis, 1978)

Satu mention baru aja masuk di akun twitter saya. A humble question : @_rizal_ gmn sih caranya punya follower banyak seperti dirimu?

Well, pastinya definisi banyak dan sedikit akan sangat relatif. Untuk ‘nobody, just ordinary human being with extraordinary dreams’  seperti saya, follower 700 lebih mungkin dianggap udah banyak oleh sang ‘mentioner’ yang followernya belon nyampe 100. Tapi jangan bandingin sama @irfanbachdim10 yg follower-nya 770ribu atau @lunamaya yang followernya 520 ribu.

“Terus, jadi emang penting punya follower banyak?” tanya saya pura-pura bloon. “Penting donk, salah1 indikator kebekenan hahaha” jawab sang mentioner. AFAIK, awalnya twitter emang dipake para selebritis untuk broadcast segala hal ttg dirinya ke fansnya. Jadi karena saya bukan selebritis pastinya kebekenan bukan tujuan saya ngetwit.

Jadi ngapain dong ngetwit? bedanya apa sama status FB, misalnya? Serunya ngetwit IMHO adalah :

  1. seberapa penting atau gak penting pesan yang mau kita sampaikan, aturan matinya cuma satu, gak boleh lebih dari 140 karakter, kayak SMS standar aja. secara gak langsung kita disuruh mikir untuk memformulasikan twit secara efisien, terutama kalo pengen ngoceh panjang lebar.
  2. twit and let it go. gak perlu pusing ada yg peduli apa nggak. nggak perlu ngitung berapa jempol yang didapet dari twit itu (karena emang gak bisa). gak perlu nungguin juga ada yang reply apa nggak.
  3. gak perlu ‘ijin’ untuk follow orang (well, beberapa akun yg dikasih simbol gembok berarti kita musti minta ijin untuk mbuntutin dia). follow dan unfollow is just a click away.
  4. berita menyebar secepat badai tornado di twit, apalagi kalo udah masuk TT (trending topic).
  5. begitu banyak wisdom, kelucuan, keresehan, kesotoyan, kemarahan, kesedihan, berita gembira, berita duka, berita penting, berita gak penting, dst., berserakan di twitter. kalo kita baca timeline dan beruntung, bisa jadi sangat inspirasional.

Nah terus kembali ke humble mention itu, gimana caranya punya banyak follower? Well, awalnya sih saya gak terlalu peduli berapa banyak yg follow. Saya cuman ingin menyerap energi positif dari tulisan orang, sebanyak mungkin dan seefisien mungkin. Gimana dengan twit sampah? just let it go. Sampah buat kita barangkali bermanfaat buat orang lain. Kalo ada twit yg bener2 cool, marking favorite supaya kapan2 kita bisa baca lagi (di katalog favorite kita), sebelum hilang ditelan samudra digital.

Angka-angka cantik di twit home saya (asli, gak penting)

Kebanyakan kecap ya? dari tadi muter-muter aja. Iya deh, gini nih pengakuan saya gimana ceritanya sampe follower saya jumlahnya segitu. Buat yg followernya lebih banyak dari saya, bagian ini gak usah dibaca, gak penting banget. Kalo ngerasa bagian ini penting, baca baik-baik ya :

  1. I don’t expect too much. Kita gak bisa maksa orang untuk follow kita kan ? Jadi terimalah berapapun followermu dengan ikhlas, seperti kamu ikhlas juga dengan berapa rezeki yang diterima olehmu. #nyambungGakSih
  2. Find a way to get follower. Ada beberapa twit yg bunyinya kurang lebih ‘cara mudah dapat ribuan follower’. Tak satupun pernah saya coba, jadi gak tau itu beneran apa hoax aja. #kasihTauDongYangPernahNyoba.
  3. Carilah calon alias ‘follower to be’ kita. Paling gampang sih dari yang punya minat sama dengan kita. Misalnya, follower @detikcom pasti orang-orang yang seneng baca up-to-date news. Follower @simamaung pasti bukan fans-nya Persija, jangan salah pilih kalo gak pingin digitally crunched, mending cari di follower @bepe20 aja. Abis gitu, follow-lah para follower @detikcom, @simamaung, @bepe20, atau apapun yg cukup ngetop.
  4. Follow secara acak? boleh aja. Tapi lebih sehat kalo sebelum follow para follower di akun2 top itu, baca dulu twit terakhir yg mau difollow itu kayak apa. Kalo bener2 gak penting atau malah cuma sumpah serapah, atau twit terakhirnya setaun yang lalu, skip aja. Kalo twitnya cool, so pasti wajib di follow. Selanjutnya, berharap di foll-back. As simple as that.
  5. Seberapa banyak? Terserah !. Suatu waktu pernah saya follow sampe 1600an akun dan yg follow back 400an. Rajin ya nge-follow :D. Jangan lakukan di kantor, bisa disemprot bos. Jangan juga lakukan sebelum ujian, karena gak bakalan muncul namanya bocoran soal di twitter. Carilah waktu yang bener2 luang untuk ‘berburu’ follower ini.
  6. Terus kan gak ‘keren’ kalo yg follow sama yg di-follow njomplang gitu?. Well, iya sih !. Terus Gimana? Clean up ! Beresin tu akun2 yg ‘ngesok’ gak mau foll-back, ato yg deadbeats (gak pernah ngetwit lagi). Tapi jangan asal juga. Banyak akun yang gak follback tapi tetep worth it untuk di follow. Toh yang kita cari emang cool twits, the ultimate goal and that is all about twitter. Caranya? pake tweepi.com. Layanan gratis ini membantu kita ngerapihin akun kita.
  7. Lakukan terus langkah 6 sampe ngerasa cukup ‘eksis’ di twitter.

Disclaimer: Gak ada garansi cara ini berhasil. At least, it works for me 🙂

PS: AFAIK->As Far As I Know. IMHO -> In My Humble Opinion





Pernikahan Abad Ini

29 04 2011

"Wedding of The Century"

Hari ini digadang-gadang tengah berlangsung the Royal Wedding, bahkan dijuluki sebagai the Wedding of the Century. Ya, Prince William, pewaris tahta Kerajaan Inggris di antrian Raja Inggris berikutnya akan menikah dengan Kate Middleton yang segera akan bergelar Lady. Antrian Raja Inggris ? Ya, tentu saja, karena bapaknya sang calon pengantin yaitu Pangeran Charles aja masih ngantri karena sang Ibu, Queen Elizabeth II masih betah terus menjadi Ratu Inggris di usia lanjutnya dan tak rela menyerahkan tahta ke anaknya.

Pernikahan adalah suatu keniscayaan yang akan dialami oleh semua anak manusia yang terlahir ke muka bumi, tentu saja dalam keadaan normal. Dalam keadaan tidak normal, ada juga anak manusia yang tidak pernah menikah selama hidupnya. Ntah karena memang sudah keburu dipanggil kembali menghadap-Nya sebelum sempat menikah, atau memang karena tak jua menemukan tambatan hati. Atau punya tambatan hati tapi kadung sudah dimiliki orang lain, seperti tertulis di banyak truk antar kota : “Kutunggu Jandamu”.

Pastinya, orang bisa bersilang pendapat soal gelar Wedding of the Century. Bagi saya sendiri, pernikahan saya adalah wedding of the century. Narsisme pol. Apa ukurannya sih? Kalo diukur dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk pernikahan, ribuan petugas keamanan yang terlibat, ratusan juta bahkan mungkin miliaran pasang mata menonton prosesi pernikahan di televisi, ratusan ribu yang menonton langsung di Westminster Abbey, memang sah-sah aja sih pernikahan Prince William & Kate disebut sebagai Wedding of the Century.

Media pun gencar memberitakan persiapan hingga detik-detik prosesi pernikahan. Saya jadi teringat pernikahan Ibunya Prince William, yaitu Lady Diana dengan Pangeran Charles, puluhan tahun yang lalu. Sepertinya sakral dan berkelas sekali. Tapi apa yang terjadi puluhan tahun kemudian? Perselingkuhan di kedua belah pihak terjadi. Bahkan Lady Diana tewas secara tragis dalam kecelakaan mobil, yang disinyalir karena sopir mobil panik dikejar-kejar paparazzi yang memburu berita dan gambar saat sang Lady bersama dengan Pria Idaman Lainnya.

So what dengan kemegahan suatu pernikahan? Hakikinya, proses pernikahan adalah masa yang teramat sangat singkat dibanding dengan masa pernikahannya sendiri. Mau dibuat sederhana ataupun dibuat semegah mungkin, prosesi nikah akan segera dilupakan oleh pelaku maupun penonton. Intinya adalah bagaimana kita mengisi pernikahan kita. Waktu saya masih SMA dulu, seorang mahasiswa yang sudah menikah berceloteh tentang pernikahannya. Mahasiswa ini keturunan Arab, gantengnya pol. Istri pilihannya pun bunga kecamatan, yang membuat orang mudah melihat mereka sebagai pasangan serasi. Apa dia bilang? Ganteng atau cantik hanya dilihat 3 bulan, selebihnya, kita hanya melihat dan merasakan tindak-tanduk pasangan kita.

Suatu premis yang rasanya cukup bijak. Kalau memang rupa dan materi adalah faktor dominan dalam suatu pernikahan, kenapa juga infotainment tak henti-henti menayangkan kisah kawin cerai para artis? Kurang ganteng apa suaminya, kurang cantik apa istrinya? Toh akhirnya pisah juga dengan segala kehebohannya. Satu hal yang saya hakkul yakin, tak ada satu pernikan pun yang tidak dilanda badai. Dua insan berbeda karakter dan latar belakang berbeda disatukan, maka perbedaan adalah suatu hal yang pasti. Bagaimana kita menyikapi perbedaan itu adalah kunci keberhasilan suatu pernikahan.

Pernikahan saya sendiri baru berumur 14 tahun, dan tak kurang diwarnai dengan perdebatan kecil maupun besar dengan istri saya.  Perdebatan kecil cepat diselesaikan dengan saling colek saja. Perdebatan besar kadang berlarut sampai tidur punggung-punggungan, banting buku, cercaan, dan cemberut sampai pipi pegel.  Kesadaran bahwa saya memilih istri saya untuk menjadi istri saya tanpa paksaan siapapun, sehingga saya bertanggung jawab penuh atas pilihan itu, ditambah dengan wajah innocent tiga putra-putri kami, membuat saya mampu bertahan dalam situasi chaos penikahan, dan belajar secara berkelanjutan untuk terus memahami karakter istri saya, juga melakukan adjustmen terhadap ekspektasi saya terhadap istri saya. Itulah kenapa saya merasa pede bahwa pernikahan saya adalah wedding of the centuries. Dengan keyakinan mendalam bahwa istri saya tetap mendampingi saya bahkan dalam kehidupan setelah mati , bearabad-abad yang akan datang. Pangeran William masih harus membuktikannya di tahun-tahun kedepan. Pangeran Charles bahkan sudah bisa dikatakan gagal dalam pernikahannya.

Siap untuk menjadikan pernikahan anda sebagai the Wedding of the Century?





Hendak dibawa kemana generasimu, Nak ?

21 04 2011

Pashmina sebagai hijab

Si sulung cantik sedang di depan cermin memilih dan mematut-matut pashmina yang dibeli ibunya di kota Makkah. Entah kenapa saat umroh kemaren, nafsu belanja ibunya, sang Dokter, agak teredam. Dengan tetap bersyukur atas berlimpahnya rezeki yang kami terima, bu Dokter hanya membeli beberapa lembar pashmina asal India yang dijual dengan harga yang sangat menakjubkan, 5 SAR (Saudi Arabian Riyal). Dengan kurs 1 SAR yang setara dengan sekitar Rp.2.300, maka harga satu potong pashmina itu tak sampai Rp. 15 ribu rupiah. Nilai yang cukup membuatku geleng-geleng kepala. Meski bukan pashmina kashmir kualitas baik, yang tahun 2003 pernah kubeli di Bangalore seharga Rp.300 ribuan, pashmina 5 SAR itu tetap saja cantik dan pantas sebagai cindera mata. Busana memang tak selalu harus mahal, terlebih bila yang memakainya dari sononya sudah good looking, busana murah pun bisa fit in dan terlihat berkelas. Pashmina ini banyak dipakai sebagai hijab oleh wanita arab.

Sambil sibuk memilih-milih pashmina, si Sulung Cantik pun mulai berceloteh. Usianya baru 13 tahun, baru kelas 7. Sistem penamaan kelas ini bisa membuat generasi jadul berkerut keningnya. Kelas 7? emang sekarang kelas sampe berapa? Nah bagi yang belum update, SMP atau setara sekarang diberi nomor 7-9. Sementara SMA atau setara diberi nomor 10-12. Si Sulung Cantik masih kelas 7, tapi tinggi badannya sudah sama dengan ibunya. Generasi sekarang memang diberkahi gizi yang jauh lebih baik dibanding generasi kami dulu. Mereka tak pernah mengenal sarapan dengan roti sumbu. Di tahun 80-an, bapaknya masih mengalami sarapan roti sumbu, karena penghasilan kakek mereka memang memaksa berhemat dengan pengeluaran, terlebih dengan 6 mulut kecil yang perlu diberi makan.

Sementara itu, Si jagoan, masih berkutat dengan soal-soal detik-detiknya dengan dikawal ketat bu Dokter, karena sebentar lagi di Ujian Nasional tingkat SD. Si bungsu keriting asyik dengan gasing ajaibnya yang bisa bernyanyi dan mengeluarkan cahaya berpendar. Gasing modern yang tak repot dengan tali, tapi sudah menggunakan sistem pegas, bisa bernyanyi, berwarna-warni, dan harga yang hanya 7,5 SAR. Salah satu bentuk keajaiban industrialisasi negara Cina. Kemi berlima, dengan bapaknya yang masih sibuk memeriksa email setelah 10 hari meninggalkan dunia kerja, berkumpul di kamar tidur utama. Kamar yang didesain cukup besar untuk menampung kami semua. Kamar hangat  yang menjadi favorit untuk berkumpul, dibanding dengan ruang keluarga yang cenderung dingin.

Sesekali bu Dokter dan suaminya mengomentari pashmina yang dipakai si Sulung Cantik. Satu persatu dicobanya pashmina yang dibeli ibunya. Jatah yang didapatnya adalah 2 potong. Sisanya harus dibagi untuk saudara-saudara bu Dokter. Ada sesal juga, kenapa kemarin nggak beli lebih banyak, sehingga jatahnya bisa bertambah.  Penyesalan yang tak berlebihan,  hanya disertai dengan harapan suatu saat akan dapat kembali ke tanah suci. Beribadah dengan khusyuk di tanah haram, dan berbelanja di sela-sela waktu.

Jawaban UN - Bocor?

Dan yang mengagetkan adalah salah satu celoteh si Sulung Cantik : “Pa, tau nggak, teh Kia sama temen-temennya beli jawaban soal Ujian Negara !”.  Seketika bapaknya dan bu Dokter menghentikan kegiatan masing-masing dan menginterogasinya. “Gimana caranya?”, “Beli sama siapa?” Dua pertanyaan yang hampir berbarengan harus dijawab si Sulung Cantik. “Ya beli sama orang Diknas, 2 Juta !, dibayar nanti setelah Ujian Nasional, kalo kuncinya bener itu juga”. Bu Dokter pun komentar, “Pantesan nilai UN tahun kemarin pada tinggi-tinggi !, tapi mama tetap bangga dengan nilai anak-anak mama yang jujur daripada dapat nilai tinggi tapi curang !”

Trenyuh hatiku. Sudah sebegitu rusakkah sistem pendidikan negeri ini ?. Kabar buruk ini memang tidak dapat diklarifikasi. Tapi kalau memang benar adanya bahwa jawaban soal ujian bisa dibeli, maka telah terjadi perusakan moral kejuangan bangsa secara massal. Anak-anak kelas 9 dan kelas 12, yang suatu saat akan menjadi pemimpin negeri ini, sudah diajari sejak dini bahwa ‘keberhasilan’  bisa dibeli dengan uang. Sistem bisa di by-pass, ada short cut untuk sukses, dan yang paling parah, uang bisa mengatasi semua masalah. Mereka akan besar sebagai hamba uang. Mereka akan tertinggal semakin jauh dengan bangsa-bangsa besar Asia seperti Cina dan India yang semakin cepat bergerak menuju negeri yang kaya dan maju.

Dan aku pun tak tau harus berbuat apa. Hanya bisa merutuki pemimpin negeri ini, yang membiarkan kebobrokan fundamental seperti ini terjadi di depan mata. Semoga anak-anakku mampu mengarungi hidupnya dengan istiqomah di jalan yang terjal dan penuh duri ini.





Road2GBK : Moda Transportasi

29 03 2011

Gelora Bung Karno (courtessy : Joni Effendi)

Berlaga di Stadion Gelora Bung Karno tentunya menjadi salah satu impian semua pemain sepakbola Indonesia. Lebih khusus lagi, berlaga di Gelora Bung Karno dengan menggunakan Jersey Tim Nasional, berlambang Garuda di dada sebelah kiri, adalam impian tertinggi. Untuk yang satu ini, bahkan ada yang rela melepas kewarganegaraannya. Sebut saja seorang Christian ‘el loco’ Gonzales, terlahir sebagai warga negara Uruguay, el loco berkorban dan berjuang 7 tahun tidak pulang ke negerinya, bermain sebagai pemain sepakbola di Indonesia, dan akhirnya menjadi pemain naturalisasi pertama.

Bagi pesepakbola amatir seperti saya, yang bermain bola hanya seminggu sekali bersama teman-teman di hari Sabtu, berlaga di Stadion GBK sudah menjadi impian tertinggi. Setelah sempat tertunda karena surat permintaan resmi untuk menyewa lapang sepakbola GBK ditolak, maka negosiasi ala Indonesia dijalankan dan akhirnya dapat dipastikan kami bisa berlaga di stadion GBK pada hari Minggu, 27 Maret 2011. Sebagai penggila bola sejati, latihan hari sabtu tetap berlangsung normal di lapang UPI di kawasan setiabudi Bandung. Harga sewa sekali bermain di stadion GBK setara dengan harga sewa lapang UPI selama 3 bulan lebih !

Bukan sekali ini tim kami berlaga tandang. Surabaya, Kediri, Semarang, Jogjakarta, Tasikmalaya, Cirebon, Cianjur, Jakarta, Cilegon, adalah beberapa kota yang sempat kami sambangi untuk bertarung di lapangan hijau. Sudah tak mudah menghitung berapa kali kami mencetak gol. Sama susahnya dengan menghitung jumlah gol yang bersarang di gawang kami. Kemenangan dan kekalahan datang silih berganti. Tapi tak ada yang lebih patut dinantikan selain berlaga di stadion GBK. Kami melihatnya sebagai pertai puncak yang mungkin hanya terjadi sekali seumur hidup.

Persiapan dalam rangka Road to GBK sungguh luar biasa. Pernah kami hendak berlaga di Stadion Badak Putih Cianjur, dan bis yang kami tumpangi mogok di tengah jalan karena masalah mesin, di siang terik jalan raya Bandung Cianjur. Sempat ada suudzon bahwa ini adalah sabotase pihak lawan, tapi melihat umur bis yang sudah sedemikian uzur, sepertinya memang tak perlu sabotase untuk melihatnya tepar di pinggir jalan. Beruntung teknologinya masih primitif, sehingga bis bisa berjalan lagi setelah komponen yang rusak diikat dengan kawat baja.

Sudah Jam 9.45. Hampir seluruh pemain sudah datang. Tinggal seorang pemain muda yang ‘mengaku’ berbakat yang masih ditunggu. Tak sabar, seorang pemain menelponnya dan berkata ‘Jang, kami udah mau berangkat. Jangan kuatir ketinggalan ya, banyak travel ke Jakarta’. Mesin bis sudah panas ketika akhirnya seluruh pemain termuat. Termasuk the legend Kuatin yg harus diantar istrinya, kuatir maksa ikut turun di stadion GBK. Nah, untuk perjalanan kali ini bis tim kami luar biasa. Ini adalah salah satu bis ternyaman yang pernah kami pakai berlaga tandang. Pantas saja, ternyata bisnya adalah bis sewaan dari salah satu perusahaan otojasa ternama di kota Bandung, yang lahan parkirnya di jalan Pasteur luasnya selebar lapangan bola. Layanannya juga prima. Baru duduk sudah ada yang mengantar snack, jeruk dan aqua gelas. Sepertinya yang ngantar snack ini mukanya nggak asing, sering liat di lapangan UPI. All round performer, mulai dari cari lapang untuk latihan, cari dana, bayar pelatih, sampe nganter snack juga bisa.

Fasilitas bis ini juga luar biasa. Udah ada TV yang bisa dilipat, juga dilengkapi karaoke. Jadi ingat perjalanan PS Telkom ke Semarang dulu. Bisnya nggak seberapa bagus waktu itu. TV-nya juga masih segede gaban dan pake tabung. Tapi waktu itu, yang hebat adalah content-nya. Cocok buat pemain bola yang jauh dari istri. Nah untuk bis yg kali ini, karena dilengkapi karaoke, baru saja lagu “Jangan Ada Dusta Diantara Kita” mengalun, sesosok tinggi besar dan hitam merangsek ke depan dan merebut mic karaoke. Suaranya agak aneh, dan bangun-bangun, saya sudah di parkiran Rumah makan Sederhana KM 62. Sepertinya yang nyanyi tadi bukan penyanyi, tapi tukang sirep.





Belajar Gambaru dari Jepang (Surat Nur Rahadiani)

16 03 2011

—–Original Message—–
From: Nur Rahadiani
Sent:  14/03/2011 18:35:00
Subject:  [Medical_UI_98] Bencana di Jepang: Up date Hari Ke-empat

Dear all,

Alhamdulillah, hari ini hari ke-4 setelah bencana gempa dan tsunami menimpa Jepang. Kami yg berdomisili di daerah Kansai (Osaka, Kobe, Kyoto, dsk) dalam keadaan sehat wal afiat. Semoga seterusnya demikian.

Walaupun beberapa gempa susulan masih dapat dirasakan di daerah yg lokasinya dekat dgn episentrum gempa. Gempa terakhir dilaporkan terjadi pagi ini di Ibaraki-ken (sebelah Tokyo) berkekuatan 6 SR. Namun, peringatan akan terjadinya tsunami di seluruh daerah pantai timur sudah dicabut resmi oleh pemerintah Jepang sejak malam tadi. Alhamdulillah.

Provinsi Miyagi, terutama kota Sendai, salah satu tempat paling parah yg
mengalami tsunami, sudah mulai berbenah. Di kota ini terdapat salah satu
universitas papan atas Jepang, yaitu Tohoku university. Banyak mahasiswa
Indonesia beserta keluarga mereka tinggal di kota ini. Sampai skrg, mereka yg
selamat masih tinggal di pengungsian: gedung-gedung sekolah, stadium OR, balai kota, dan tempat lain. Rencananya, secara berangsur-angsur, mereka akan dijemput dan direlokasikan ke SRIT (Sekolah Rakyat Indonesia di Tokyo) oleh KBRI untuk mendapatkan perawatan, pelayanan dan pendataan yg lebih memadai….Sendai masih gelap gulita, dingin luar biasa, dan carut marut penuh dgn sampah akibat tsunami. Mari kita doakan semua korban agar segera terbebas dari ketakutan dan kemalangan. Amin.

Efek gempa dan tsunami yg menimpa Jepang kali ini mmg sangat dahsyat. Dampaknya  bagi kehidupan bernegara, jauh lebih besar dibanding dengan yg pernah dialami Indonesia dgn gempa-tsunami Aceh lalu. Jika dulu, gempa di Aceh hampir tidak terasa di Jkt, gempa Jepang kali ini mengubah `ritme` kehidupan Tokyo sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi.

Per hari ini, Tokyo dan kota-kota di sekitarnya dilaporkan akan mengalami
pemadaman listrik secara bergilir. Kereta dan subway pun tidak akan beroperasi  secara normal untuk menghemat konsumsi listrik. Ini semuanya terpaksa dilakukan karena pasokan listrik berkurang sejak meledaknya reaktor no.1 plt nuklir di Fukushima dan down-nya pendingin reaktor no.2 di plt yang sama. Penumpang menumpuk di stasiun-satiun kereta. Hampir semuanya terlambat tiba di kantor/sekolah akibat waktu tempuh yg berlipat menjadi 3 atau 4 kalinya. Namun demikian, chaos dan kepanikan tidak pernah terlihat di Tokyo, bahkan dalam keadaan darurat spt ini. Semua org ttp tertib, rapi mengantri dan mendahulukan org lain. Mereka berprinsip, itu adalah sumbangsih mereka untuk membuat keadaan tidak bertambah parah. Salut!

Kami, pelajar Indonesia yg sedang kuliah di sini merasakan betul kekaguman luar biasa untuk bangsa Jepang. Triple bencana (gempa, tsunami, ledakan pltn) yg dialami mereka skrg tidak membuat mereka hanyut dalam kesedihan atau peratapan nasib. Yang ada justru sikap saling bahu-membahu, ttp dalam sikap tenang dan tegar. Falsafah hidup mereka yang `ganbaru` (berjuang sekuat mungkin) menjadi penguat hati dan generator energi yg paling besar.

Televisi Jepang menyiarkan laporan perkembangan bencana non-stop, terus menurus tanpa jeda iklan, semenjak hari Jum`at lalu, di seluruh channelnya. Namun tidak ada iringan lagu sedih, liputan anak menangis, dan lain-lain yg sering kali kita lihat di liputan bencana ala tv Indonesia. Metode yg bagus sekali untuk tidak mengkondisikan kesedihan yg berkepanjangan. Di lain sisi, yang disiarkan adalah imbauan-imbauan pemerintah ttg hal-hal apa saja yg harus diperbuat untuk  kebaikan bersama. Seperti menghemat listrik dgn meminimalisasi penggunaan alat elektronik, meng-unplug kabel, dll. Juga diajarkan cara-cara untuk survive spt menggunakan air scr hemat, merakit kompor sendiri, dll. Disiarkan juga nomer-nomer call center yg bisa dihub 24 jam, rs darurat, pemadam kebakaran, dll…Dan yang lebih mengharukan adalah kesungguhan para pemimpin mereka untuk melayani rakyat yg sedang kesusahan!

Perdana menteri Naoto Kan selalu muncul di tv menggunakan baju lapangan spt org para pekerja. Semua mentri pun demikian. Dilaporkannya apa yg sudah ditempuh sampai hari ini, apa saja yg berhasil ditanggulangi, apa rencana ke depan, berapa jumlah korban teridentifikasi dll. Wajahnya tampak jelas kelelahan. Tapi suara dan isi pidatonya selalu mengugah semangat rakyat untuk terus berjuang, gambaru bersama-sama. Aduhai, alangkah bahagianya rakyat Jepang dipimpin orang-orang yg dapat dipercaya!

Tabik kami untuk mereka, bangsa Jepang dan para pemimpin mereka yg amanh, setulus-tulusnya…

Demikian up date dari Osaka kali ini. Mohon doa dari kawan-kawan semua. Mohon maaf bila ada yg kurang berkenan..

Salam,

dian

Nur Rahadiani
Department of Histopathology (C3)
Graduate school of Medicine, Faculty of Medicine
Osaka University, JAPAN
phone : 81-80-5337-7666





Semoga Tim PSSI Kalah !

21 02 2011

Sepakbola adalah bagian tak terpisahkan dari hidup saya. Terlahir di masa sepakbola tak bisa menjadi mata pencaharian, saya pun tak pernah secara serius menekuni sepakbola. Tak pernah terbersit sedikitpun dalam angan saya di waktu kecil untuk menjadi pemain bola profesional. Tapi, kalau urusan sepak menyepak bola, ingatan saya cukup kuat untuk melompat-lompat ke petualangan sepakbola saya di waktu kecil sampai sekarang.

Pernah suatu kali saat saya masih TK (Prof Dr. Moestopo Bandung), mama tercinta, seorang Siregar sejati, mengacung-acungkan sapu lidi ke lapang tanah di belakang rumah, menandai bahwa sudah waktunya saya membaca Iqro, tapi saya belum juga nongol di rumah. Upaya pelarian yang gagal dari sabetan sapu lidi, membekas di tangan kanan berbentuk huruf Y, hasil sangkutan di kawat berduri demi menghindari sabetan sapu lidi di tengah sorakan teman-teman bermain bola saya.  Ketika menikah, saya memandang goresan di kulit huruf Y ini dengan tersenyum, tato alami untuk kekasih tercinta, Yhie.

Waktu saya SD di Surabaya (MI Khadijah), bermain bola menjadi menu rutin sebelum masuk sekolah yang berlangsung siang hari. Dengan celana pendek hijau, saya paling bersemangat bermain bola. Pernah suatu kali seorang teman yang kesal karena saya mencetak gol terlalu banyak, menjegal saya dengan sengaja tanpa ada bola, mencari gara-gara. Sadar kalau badan saya biasa aja ukurannya, dan juga darah Siregar tidak mengalir cukup deras, saya melengos menjauhi urusan, tipikal kebanyakan orang Sunda seperti bapak saya.

Ketika saya menginjak usia SMP (SMPN 5 Bandung), sekolah siang juga waktu kelas 1, bermain bola sebelum bel masuk adalah hobi yang tak pernah dilewatkan. Dengan bola plastik, bermain bola di lapang basket yang berlantaikan aspal, jangan pernah berfikir untuk jatuh. Aspal panas dengan ganas akan menyambut setiap daging dan tulang yang berani menyentuhnya. Dengan jumlah pemain yang bak cendol dalam gelas, saya masih bisa meliuk-liuk mencari celah untuk menerobos pertahanan lawan. Ketika pelajaran sudah dimulai, saya masih belum selesai mengipas-ngipas badan yang masih berkeringat, di bawah tatapan guru yang berkerut dahinya memperhatikan.

Menginjak SMA (SMAN 3 Bandung), tim kelas satu satu-satunya yang masuk ke semifinal antar kelas 1-2 hanyalah kelas saya, meski akhirnya harus mengakui kekalahan dari tim kelas 2 yang menang besar badan dan menang intimidasi.  Lapang Bali, yang menjadi lapang sharing SMAN3 dan SMAN5, menjadi saksi bahwa pernah sekali waktu saya menikmati posisi sebagai kiper.

Saat kuliah (STT Telkom Bandung, sekarang IT Telkom), sepakbola agak jarang saya lakukan. Selain lapang yang tidak mendukung, intensitas pendidikan ikatan dinas dengan pressure yang lumayan tinggi membuat saya tak terlalu intens berurusan dengan sepakbola saat masih kuliah. Seingat saya, tim STT Telkom pernah ikut liga mahasiswa, dengan hasil yang cukup memalukan karena selalu dipecundangi lawan-lawan dengan skor besar. Sepertinya kami memang terlalu serius kuliah saat itu.

Setelah bekerja di BUMN telekomunikasi terkemuka di negri ini, hobi sepakbola saya tersalurkan lagi. Pertandingan sepakbola antar Divisi di Bandung adalah momen yang paling dinanti-nanti. Pertandingan demi pertandingan yang berlangsung di saat week-end selalu mampu menyegarkan badan dan pikirian setelah seminggu berkutat dengan rutinitas kerja. Pernah suatu waktu saya dimutasi temporer ke Jakarta, entah dari mana manajer tim Jakarta tau kalau saya hobi main bola, dan menjadi pemain cabutan untuk tim Jakarta Pusat. Hasilnya tidak mengecewakan, muncul sebagai top skorer, mencicipi lapang Lebak Bulus, dan mendapat amplop berisi uang sebagai tanda terima kasih. Uang yang saya pakai untuk mentraktir teman2 dekat di Jakarta, yang diolok-olok sebagai ‘uang kaki’.

Sampai saat ini pun, sudah beranak 3, saya masih setia mengikuti pertandingan demi pertandingan dengan teman-teman kantor. Semarang, Cirebon, Tasikmalaya, Jakarta, Cianjur, adalah kota-kota yang pernah kami datangi untuk bertanding bola. Stadion Siliwangi, Jalak Harupat, Lebak Bulus, adalah tiga stadion besar yang pernah saya injak injak sebagai pemain bola. Senayan, sudah masuk target kami berikutnya.

Darah bola mengalir cukup deras di tubuh saya. Mamak saya, adik mama, adalah pemain Timnas di era Galatama. Mak Locan, saya memanggilnya, adalah pemain defender Pardedetex, dan sempat beberapa kali memperkuat timnas, diantaranya melawat ke Iran. Saat Pardedetex bertanding di stadion siliwangi, saya tidak menonton di tribun penonton, tapi menonton di bench, digendong Mak Locan dan berangkat bersama tim dari penginapan.  Saya tak pernah mengikuti sekolah bola, tapi video tape teknik-teknik dasar bermain bola yang Mak Locan berikan habis saya hafal dan praktekkan.

Dengan terlahir di Medan, sempat tinggal di Surabaya, besar dan bekerja di Bandung, tinggal di Cimahi, membuat saya bingung sendiri memilih klub kesayangan. Di era perserikatan dulu, pastinya kami sekeluarga membela PSMS, dan saat PSMS mengalahkan Persib Bandung di final, kami pun berjingkrak bersama, sambil menjerit tertahan, kuatir rumah dilempar orang, karena kami tinggal di kota Bandung. Saya menonton bola di TV untuk menikmati pertandingannya, dan tidak memihak secara emosional tim manapun. Pastinya, masih ada ‘sedikit’ ikatan emosional dengan PSMS, Persibaya dan Persib. Jika 3 tim ini bertanding, saya senang jika mereka menang.  Saya tidak pernah datang ke stadion untuk menonton pertandingan sepakbola. Sayang ‘membuang waktu’ bila pertandingan tidak bermutu, atau malah rusuh. Kalau di TV pertandingan membosankan, saya tinggal ganti channel.

Garuda Pancasila

Saat turnamen AFF 2010 yang lalu, eforia Timnas Garuda membangkitkan semangat nasionalisme sebagian besar rakyat Indonesia, termasuk saya.  Saya pun menonton dengan berdebar, berharap dan berdoa agar timnas menang. Perjuangan Christian Gonzales, Irfan Bachdim, Firman Utina dkk, saya acungi jempol. Mereka layak disebut pejuang negara. Tampil demikian impresif sepanjang turnamen, meski tak juara, mereka tetap juara di hati saya dan kebanyakan rakyat Indonesia.

Selanjutnya adalah mimpi buruk buat saya. Nurdin Halid, seorang terpidana korupsi, pimpinan tertinggi PSSI. Mencoba netral, bahwasanya bisa saja Nurdin memang punya jasa pada sepakbola Indonesia. Faktanya, tak ada satupun gelar timnas peroleh selama kepemimpinannya. APBD di seluruh negri digerogoti untuk membayar pemain bola profesional di Liga Super, Liga Divisi Utama maupun liga lain di bawah naungan PSSI. Uang yang diperoleh dari keringat rakyat lewat pajak ini dihamburkan untuk industri sepakbola. Hanya di Indonesia. Kedunguan yang nyata.

Kemunculan Liga Primer Indonesia membawa secercah harapan bahwa sepakbola bisa dijalankan sebagai industri. Dengan model bisnis yang bisa kita tiru dari liga-liga terbaik di Eropa, Amerika selatan, maupun negara tetangga kita Jepang dan Korea Selatan. Menjalankan sepakbola sebagai suatu Industri, memberikan alternatif mata pencaharian bagi mereka yang berbakat, dan menjadi duta bangsa mereka masing-masing untuk bertarung di tingkat tertinggi pesta sepakbola, Piala Dunia. Kita? tak satupun peserta AFF bermain di Piala Asia. AFF memang liga tarkam (antar kampung) di tingkat percaturan sepakbola dunia. Liga Primer belum menunjukkan hasil. Liga Super masih terus menyedot uang rakyat lewat APBD. Cara terbaik bagi saya untuk tetap menjadi orang waras dan tidak naik tensi darah adalah menutup mata dan telinga atas tingkah polah Nurdin Halid dan kroninya, melupakan channel ANTV yang menyiarkan liga super dan liga ti-phone, dan menghibur diri dengan menonton Liga Primer Indonesia.

Tanggal 23 Februari 2011 di ajang pra piala Dunia, Indonesia menghadapi Turmenistan. Keputusan PSSI yang melarang pemain liga primer manjadi pemain timnas, menambah panjang daftar dosa mereka atas sepakbola Indonesia. Ini timnas, tak penting seorang pemain bermain di mana, selam dia berpaspor merah putih, berhak untuk berkontribusi. Kepicikan PSSI dan juga ketololan Alfred Riedl yang manut saja pada juragan yang menggajinya, menunjukkan bahwa mereka lebih mencintai dirinya, ego pribadi dan golongannya, dibandingkan mencintai kejayaan bangsa Indonesia di kancah sepakbola. Beberapa orang yang bermain di Piala Dunia Afrika Selatan 2010 yang lalu, tak punya klub untuk bermain. Saat berbicara lambang negara, maka sepatutnya kepentingan nasional di atas segalanya.

Ini bukan timnas, karena tidak mencerminkan kekuatan nasional, ini Tim PSSI. Sudah seharusnya mereka tidak memakai lambang Garuda di jersey-nya. Mereka seharusnya memakai lambang PSSI. Saya mendoakan sepenuh hati agar tim PSSI kalah. Dan saya pun akan berduka bila mereka menang. Kemenangan yang hanya akan semakin menumbuh suburkan kebebalan para pengurus PSSI. Semoga mereka semua segera insyaf. Sepakbola adalah olahraga terpopuler sejagat raya. Berilah kesempatan kami semua menikmatinya, melihat merah putih berkibar di pentas tertinggi. Dan bila kalian para pendholim tak juga jera, doa kami akan mengutuk kalian. Dan berhati-hatilah, doa kaum yang teraniaya senantiasa dikabulkan oleh-Nya.





Pembunuhan (tak) berencana atas @tikuyuz

31 12 2010

rel kereta, saksi sumpahku - dicts.info

Ingatan saya melompat mundur 25 tahun yang lalu. Saat itu siang hari. Pulang sekolah dari SMPN 5 Bandung di Jalan Sumatera. Saya bersama 3 orang member 4 sekawan geng GB menyusuri rel kereta api yang melintasi Jalan Jawa. Rizal aka Golden Bullet, Bondan aka Guardian Boy, Yuri aka Gallant Bunny, dan (damn) satu orang lagi lupa. Saya ngesok pake nama peluru emas karena diantara kami berempat, saya lari paling cepat. Bondan ngesok jadi pelindung cewek-cewek, meski dia paling kurus.  Yuri emang paling gallant, toh dia paling kaya diantara kami berempat. Si ndut berkaca mata itu, ntah kenapa nama dan GB-nya terhapus dari memory, meski setiap lewat jalan Bengawan saya masih ingat rumahnya.

Berhenti di pinggir rel, kami bermain-main dengan koin 50 perak. Koin dulu bagus mutunya, gak kayak sekarang. Ditaruh di atas rel, dan bersabar menunggu kereta lewat dan menggilasnya. Hasil gilasan rel kereta yang membuat bentuk koin jadi gak bentuknya selalu membuat kami ngakak berkepanjangan. Lalu ntah siapa yang mulai, tiba-tiba sudah ada 4 batang rokok. Tiga teman saya menyalakannya dan mulai merem melek menikmati rokok merek. Mungkin mereka membayangkan sedang menjadi James Bond dengan 2 cewek blonde disampingnya.

yang tak terlihat perokok - entertainment-electronics.org

“Ayo zal, jangan kayak bencong, cobain nih rokok !” kata salah satu sobat saya. Nggak rela disebut bencong, saya pun mengambilnya. Mereka berebut membantu menyalakan. Dan saya pun sok-sok an mengisap rokok, meski asap hanya sampai di rongga mulut, terus disembur lagi keluar. “Yang bener dong ngisepnya, nih liat…” kata salah satu dari mereka. Dan dia pun mendemonstrasikan teknik merokok sampai ke paru-paru dengan lihai, dan mengeluarkannya mengepul membulat. Hebat, saya pikir saat itu. Saya pun mencoba mengisap rokok itu ke paru. Yang terjadi, paru-paru saya serasa terbakar, dan saya pun terbatuk keras. Mereka tertawa terbahak-bahak. Saya membanting rokok saya dengan kesal. Dalam hati saya bersumpah, “Tak kan lagi seumur hidupku aku menyentuh barang setan itu !”. Dan ketika beberapa tahun yang lalu bos saya ngejek, “Kamu gak ngerokok kayak bencong aja !”, saya pun sigap membalas, “Bapak ini gimana, sekarang ini semua bencong ngerokok !”.

Saya pikir, rokok adalah salah satu penemuan manusia yang mudharat-nya (kejelekannya) jauh lebih besar dari manfaatnya. Sudah ribuan tulisan dibuat untuk menjelaskan betapa berbahayanya rokok bagi manusia. Sejauh ini, hanya dua alasan yang ‘sepertinya’ valid. Satu, Kakek istri saya perokok berat, dan meninggal di umur 83 tahun karena jatuh dari sepeda. Dua, kalo rokok dilarang, kasihan petani cengkih dan tembakau. ‘Sepertinya’ valid, tapi belum tentu benar. Kalo diotopsi, mungkin paru2 kakek istri sayang bolong2. Bisa jadi juga dia oleng karena gak cukup dapat oksigen untuk mengayuh sepeda. Petani cengkih & tembakau? mereka tak terlahir sebagai petani cengkih dan tembakau. Kapitalisme yg membuat mereka menjadi petani cengkih dan tembakau. Konversi saja mereka menjadi petani coklat, atau apapun yg cocok dengan tanah garapan mereka.

Saya nggak punya pengalaman berhenti merokok. Jadi jujur saja, saya tidak paham seperti apa rasanya saat nikotin dalam darah menguasai neuron saraf dan memaksa perokok untuk mengambil sebatang rokok dan menikmatinya. Bos saya berhenti merokok pun karena dia masuk rumah sakit dan diopname dengan perdarahan hebat di hidung. Dokter bilang, saat itu fifty-fifty antara hidup dan mati. Karena masih betah hidup, dia pun berhenti merokok.

Ada dua pemikiran saya sebagai pendorong untuk berhenti merokok :

  1. Berhentilah membakar uang. Dengan harga sebungkus rokok antara Rp 8 – 12 ribu, dengan asumsi sehari setengah sebungkus rokok, maka sebulan seorang perokok membakar sekitar Rp. 150 ribu. Setahun dia membakar uang Rp 3 juta lebih. Banyak hal positif yang bisa didapat dengan uang Rp 3 juta kan? Seorang teman pernah cerita, dia menghitung bersama uang yang dibakar setahun dengan seorang perokok. Setelah ketemu angka sekitar Rp. 2 juta-an, dia memberikan uang Rp 2 juta itu ke si perokok, dengan janji menyicil setiap hari seharga rokok yang biasa dia beli, dan syaratnya berhenti merokok. Cara itu berhasil, si perokok berhenti total dari rokok.
  2. Berhentilah menjadi pembunuh. Baru kemarin saya dikagetkan saat membaca timeline saya di twitter, tentang seorang tweep yang saya follow, namanya @tikuyuz. Saya hanya kenal dia di dunia maya, itupun sebagai follower. @tikuyuz meninggal dunia karena penyakit Bronchopneumonia Duplex atau Flex di Paru akibat menjadi perokok pasif. Para perokok di sekitar @tikuyuz tanpa disadari telah melakukan pemufakatan jahat untuk membunuhnya melalui asap rokok. Saat ini @tikuyuz yang meninggal dunia, besok mungkin anak, istri, suami dan orang-orang terkasih para perokok. Jadi, wahai perokok, berhentilah membunuh manusia, dan dirimu sendiri.